
Pengamat Pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Said Hamid Hasan mengatakan, pelaksanaan UN selama ini memang lebih banyak menimbulkan masalah dalam dunia pendidikan. Hal ini terjadi karena UN dijadikan syarat penentu kelulusan. Menurut dia, meski masih menjadi pro dan kontra, UN tetap harus ada. Hanya saja, UN bukan lagi menjadi satu-satunya syarat kelulusan melainkan untuk melihat standar nilai siswa dan menjadi acuan untuk perbaikan, baik dari segi sumber daya manusia (SDM) maupun prasarana.
Menurut Said, UN juga harus dikembangkan menjadi penilaian dari segi kognitif, afektif, evaluatif, dan kreatif anak didik. Meski demikian, pemerintah juga harus menjamin UN tidak lagi mengorbankan siswa. “Tidak dapat dipungkiri banyak anak-anak yang stres. Orangtua juga berkorban agar anak-anaknya ikut bimbingan belajar yang kian mahal harganya,” papar Said, di Jakarta kemarin.
Sementara itu, Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) menyatakan, siap melakukan kajian terhadap standar UN. Kajian ini akan dilakukan BSNP sebagai pendamping bahan kajian dan evaluasi yang sedang dilakukan DPR dan pemerintah terhadap pelaksanaan UN.
Anggota BSNP Mungin Edy Wibowo mengatakan, DPR atau dalam hal ini Panitia Kerja (Panja) UN sedang membahas evaluasi UN dari sisi politisnya. BSNP tidak akan masuk ke ranah tersebut, hanya membahas dari sisi akademisnya. Evaluasi secara komprehensif, ujarnya, akan disisir mulai dari syarat kelulusan, standardisasi nilai kelulusan, hingga soal ujian. Di samping itu, BSNP juga akan membahas sistem antikecurangan dan kebocoran agar UN tahun depan dapat berlangsung jujur dan adil.
Mungin mengaku, BSNP belum mengetahui dan membahas rencana Panja UN merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Meski begitu, dia mengapresiasi permintaan panja karena DPR memang memiliki kekuatan politis untuk melakukan itu. Mantan Ketua BSNP ini mengatakan, jika Panja UN menginginkan agar UN tidak menjadi satu-satunya penentu kelulusan dan keempat syarat kelulusan tidak saling memveto, maka jalan satu-satunya memang harus merevisi PP 19/2005 tersebut.
Tetapi, Mungin meminta DPR berhati-hati dalam merevisi PP tersebut. Sebab, PP itu baru lima tahun berjalan. “Apa tidak terlalu cepat?” paparnya. Panja UN juga harus memperhatikan apakah ada pihak yang merasa dirugikan atas revisi tersebut? Jika memang akan ada revisi, maka kajiannya harus dilakukan secara mendalam dan komprehensif.
Anggota Komisi X DPR Raihan Iskandar mengatakan, revisi PP 19/2005 memang sudah seharusnya dilakukan karena UN hanya membawa keburukan dalam dunia pendidikan. Dia mencontohkan, kecurangan tidak hanya dilakukan oleh pihak sekolah, namun juga pemerintah daerah karena Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) telah menetapkan standar tinggi yang berlaku nasional untuk semua wilayah di Indonesia.
Padahal, ujarnya, kemampuan masing-masing daerah berbeda. Sedangkan penetapan standar nilai UN pun tidak memiliki orientasi dan tujuan yang jelas serta tidak berkorelasi dengan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). “Model UN yang dikembangkan saat ini mengacu pada hasil dan bukan pada proses pendidikan, sehingga memicu banyak kecurangan,” imbuh Raihan menegaskan.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan, pemerintah jangan menutup mata terhadap berbagai kritik dan masukan yang telah disampaikan oleh panja tentang model UN yang menempatkan UN sebagai syarat kelulusan dan menjadi hak veto kelulusan.(okezone.com)






