Paguyuban Pekerja UI & Migrant Care Protes Rektor UI

http://i.okezone.com/content/2011/09/13/373/502171/2mfXW8Rrib.jpg
SUPERIOR QUANTUM - Aksi memprotes kebijakan Rektor Universitas Indonesia (UI) Gumilar R Somantri terus dilakukan baik oleh Civitas Akademika, hingga ke tingkat pekerja UI. Aksi tersebut makin bergulir pascapemberian gelar Doktor Honoris Causa (DHC) kepada Raja Arab Saudi King Abdullah pada Agustus lalu.

Aksi protes lanjutan hari ini disampaikan oleh LSM Buruh Migran (Migran Care) bersama Paguyuban Pekerja UI yang berlokasi di bundaran UI. Selain itu aksi unjuk rasa juga diramaikan oleh Dosen FISIP UI Ade Armando, Anggota Majelis Wali Amanat (MWA) dari mahasiswa Andreas Sanjaya, dan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI, Maman Abdurahman.

Dalam aksi tersebut, LSM Migran Care mendirikan monumen yang bertuliskan Monumen Ini Dipancangkan Untuk Menegaskan Pemihakkan UI kepada TKI di Luar Negeri yang Disiksa Diperkosa Bahkan Dibunuh dengan Keji Sekaligus Bentuk Perlawanan Kami Terhadap Para Penista Kemanusiaan Dimanapun. Para pengunjuk rasa yang mendirikan monumen tersebut juga menggunakan topeng bergambar Gumilar.

Koordinator Aksi dari Paguyuban Pekerja UI, Irwansyah mengatakan, pihaknya mengecam pemberian gelar oleh rektor sementara pekerja di dalam kampus sendiri masih belum memperoleh status yang jelas. Banyak karyawan UI yang saat ini statusnya masih outsourcing dan memperoleh upah di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Depok.

“Masih banyak karyawan yang tidak jelas statusnya, banyak pula yang gajinya di bawah UMK, yakni Rp500 ribu. Hal yang miris saat rektor memberi gelar kepada Raja Arab,” tutur Irwansyah, Selasa (13/9/2011).

Analis Kebijakan Migran Care, Wahyu Susilo mengatakan, pemberian gelar tersebut sudah melukai hati masyarakat Indonesia atas peristiwa hukum pancung yang dialami Tenaga Kerja Wanita (TKW) Ruyati. Wahyu pun mengecam pernyataan rektor yang berdalih keputusan pemberian gelar DHC sudah dibicarakan sejak tiga tahun lalu.

“Belum kering air mata kita atas eksekusi yang dilakukan kepada Ruyati. Lebih menggelikan lagi ketika rektor UI terdesak bahwa inisiatif untuk memberikan gelar ini sudah tiga tahun yang lalu hanya untuk menghindari kasus Ruyati, tetapi rektor lupa bahwa tiga tahun yang lalu juga ada eksekutif mati Yanti Irianti,” tandas Wahyu.