
Menurut Budi, setelah terbang dari Punta Arenas , jalur komunikasi melalui internet terputus. Komunikasi dengan telepon satelit sangat terbatas dan hanya untuk keadaan darurat dalam pendakian ke Gunung Vinson Massif (4.879m). Pendakian ini merupakan bagian dari rangkaian pendakian tujuh puncak tertinggi di tujuh benua Indonesia Seven Summits Expedition Mahitala Unpar yang didukung penuh PT Mudking Asia Pasifik Raya dan Universitas Katolik Parahyangan.
Pesawat milik ALE itu akan mengangkut 48 orang pendaki dan pemain ski yang akan menjelajah wilayah Kutub Selatan. Budi dan empat anggota tim lainnya, yaitu Sofyan Arief Fesa (27), Janatan Ginting (21), Broery Andrew (21), dan Xaverius Frans (21) akan mendarat di Union Glacier-Patriot Hills.
Selanjutnya mereka memindahkan barang ke pesawat Twin Otter yang akan terbang selama satu jam 15 menit menuju base camp Vinson di kaki Branscomp Glacier. Dari sanalah perjalanan menuju puncak dimulai dan diperkirakan memakan waktu 15 hari.
Hiroyuki Kuraoka, pemandu gunung dari Alpen Ascent International (AAI) yang mendampingi tim mengatakan, mendaki gunung Vinson tidak terlalu mengandalkan keterampilan teknis tingkat tinggi. Dengan pengalaman di sejumlah gunung bersalju yang sudah dijalani, ia yakin tim akan berhasil.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah serangan dingin yang amat sangat di kutub selatan. Angin yang bertiup kencang tiba-tiba bisa menurunkan suhu hingga minus 40 derajat Celcius. Pada suhu tersebut, darah bisa membeku dan menghambat peredaran oksigen ke seluruh organ tubuh, terutama otak dan jantung. Jika didiamkan atau tidak dikenali, kondisi itu sangat membahayakan. Hipoksia atau kekurangan oksigen dalam darah menjadi gejala awal penurunan suhu tubuh (hipotermia) yang menjadi faktor pembunuh terbesar di daerah beriklim dingin yang ekstrem. Tim harus bisa menjaga suhu tubuh semaksimal mungkin lewat penggunaan peralatan yang memadai serta pergerakan yang efektif dan efisien. Tim sampai harus membungkus termos-termos air panas dengan guntingan matras untuk menjaga isinya tidak membeku.
Hiro juga sempat mengingatkan agar anggota tim yang masih muda tidak terjebak semangat dan bergerak terlalu cepat. ”Sebaiknya menggunakan ritme berjalan yang pelan dan konstan. Nafas jangan sampai tersengal. Pada umumnya anak muda yang kuat akan berjalan cepat, bahkan terlalu cepat hingga nafasnya pun semakin tersengal dan ditambah udara yang tipis cukup untuk membuatnya terkena Acute Mountain Sickness (AMS),” tuturnya.
Hal lainnya yaitu kurangnya pengalaman tim dalam perjalan melintasi gletser besar. Indonesia hanya memiliki gletser di Papua, yang ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang ada di Vinson Massif.
Tim juga tidak punya pengalaman jatuh ke crevasse (rekahan di medan salju) ataupun merasakan terkena radang dingin. Jadi diasumsikan mungkin saja tim tidak menyadari betapa berbahayanya hal tersebut. Selain itu, Antartika adalah benua yang terisolasi, tidak ada penduduk maupun permukiman di sana. Penerbangan ke Antartika pun sangat tergantung cuaca. Karena itu tidak ada ruang untuk melakukan kesalahan, baik selama persiapan maupun dalam pendakian nanti.(kompas.com)